Kamis, 30 Juni 2011

IDENTITAS MINAHASA DALAM KONTEKS MENTALITAS

PAENDONG BERASAL DARI MINAHASA. MAKA KITA PERLU TAHU CIRI DAN KARAKTER ORANG-ORANG MINAHASA DIMANA ORANG DENGAN MARGA PAENDONG TURUT TERINTEGRASI DIDALAMNYA.

BAGAIKAN POHON, KITA PERLU TAHU DIMANA IA BERAKAR DAN BAGAIMANA KEADAAN TEMPAT IA BERTUMBUH. INI BICARA TENTANG LATAR BELAKANG

BERIKUT INI ARTIKEL YANG BAGUS UNTUK KITA SIMAK MENGENAI  IDENTITAS MINAHASA DALAM KONTEKS MENTALITAS:

Makna orientasi nilai mentalitas orang Minahasa. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan sejumlah informan yang memiliki kompetensi sebagai native culturalist-hystorian, sedikitnya ada lima konsep nilai-nilai budaya berkenaan dengan hakekat kualitas manusia yang diyakini oleh sebagian besar etnik Minahasa merupakan identitas mental-nya, sebagai manusia “ideal” atau manusia “unggul” yang harus dijadikan sebagai pedoman/kriteria seseorang sebelum yang bersangkutan memperoleh gelar dan kehoratan sebagai pemimpin (Walian, Tonaas, dan Teterusan), adalah sebagai berikut:


1.Konsep Tou-kete (‘keter’ atau ‘ente’ )

Konsep ini diartikan sebagai orang kuat gagah berani yang sering mendapat julukan sebagai Tona’as atau sebagai Walian. Pada periode sebelum bangsa asing (kolonial) menapaki Tanah Minahasa, seseorang yang memiliki identitas mental Tou-Kete, memiliki ciri-ciri watak, seperti fisik yang kuat/kekar, serta memiliki kekuatan gaib (pa’eretan); gagah berani (waranei) dan tak gentar dalam bertarung/berperang demi membela dan menegakkan nama/harga diri kelompoknya (taranak, roong); keras, tegar, dan berterus terang dalam mengambil keputusan; serta menjadi panutan (paendon tua, patulusan) di masyarakat sekitarnya. Dapatlah dikatakan bahwa pada masa kini (era globalisasi) konsep ini secara interaksional dapat dipraksiskan (diterjemahkan dalam aksi atau tindakan), terutama dalam membangun budaya manusia profesionalisme sebagai pemimpin.

Misalnya konsep keter, merupakan ciri kualitas manusia di samping memiliki fisik yang sehat dan kuat, juga diimbangi dengan mentalitas berkarakter, berani dan tegar, transparan, serta demokratis. Tentunya ciri demikian ini sangat diperlukan bagi seorang pemimpin publik (presiden, gubernur, bupati/walikota) yang profesional untuk menentukan kebijakan publik, terlebih ketika dia diperhadapkan dengan pilihan yang dilematis. Maka dengan memiliki ciri mentalitas seorang yang keter keadaan yang dilematis itu dengan penuh keberanian dapat ia diatasi. Konsep keter ini tentu tidak cocok bagi pemimpin yang cenderung menebar ‘pesona’ dan selalu berada dalam posisi ‘ragu’ ketika hendak memutuskan suatu kebijakan strategis.

Yang menjadi nilai strategis (kepentingan umum) dari konsep keter ini adalah, pemimpin yang bersangkutan diisyaratkan harus memiliki keberanian dalam menolak segala bentuk intervensi politik (politisi), suap (pengusaha), primordialitas (mengakomodir kepentingan etnik dan agama), yang akan mempengaruhi sikap keprofesionalitasnya dalam melaksanakan tugas sebagai abdi negara. Dengan kata lain, konsep keter ini memperlihatkan kegunaannya dalam membangun suatu watak seorang yang memiliki kedirian (self) yang ‘sehat’ (tidak terbelah kepribadian), sebagai birokrat yang tidak mengenal kompromi dengan segala bentuk distorsi birokrasi; serta akan memperkuat integritasnya dalam meneguhkan komitmennya menjadi seorang pemimpin publik yang profesional.

2. Konsep Tou-Nga’asan (manusia berotak)

Konsep ini sangat berarti untuk dikombinasi dengan konsep Tou-Kete di atas (watak serta fisik yang kuat (keter) dan berani). Konsep mentalitas ini cenderung mengandalkan kemampuan intelektual (rasional dan objektif). Untuk itu, maka dalam konteks upaya untuk meneguhkan praksis pemimpin ideal yang professional ada hubungan yang berarti di mana di samping pemimpin yang bersangkutan sebagai seorang praktisi yang trampil, tetapi juga lebih daripada itu adalah seorang akademik yang memiliki kemampuan untuk mengkaji dan mengimplementasikan suatu kebijakan publik sebagaimana yang diharapkan.

Jadi, dapat dikatakan bahwa konsep Tou-Nga’asan sudah merupakan bagian dari identitas orang Minahasa, di mana pada era kolonial, terutama Belanda, di samping berhasil menyebarkan agama Kristen, juga berhasil mensosialisasikan pendidikan modern.

Namun demikian, konsep nga’asan ini secara nilai mengisyaratkan bahwa seseorang yang telah berpendidikan belum tentu dia dianggap adalah orang baik atau jujur yang berani menegakkan kebenaran dan keadilan (sama, le’os atau lo’or). Bisa saja orang yang berpendikan tersebut (tou-ngaasan) adalah orang jahat (tou-lewo) yang menggunakan kekuatan fisik dan akal pikirannya (intelektualitas) untuk merugikan orang lain dengan melakukan kejahatan korupsi, menerapkan budaya kekerasan (premanisme), dan pembunuhan serta tindakan amoral lainnya. Nilai ini juga mempunyai relevansi yang signifikan dalam membangun sosok pemimpin ideal yang profesional.

Untuk itu, peranan agama dan budaya sangat berarti dalam membentuk watak orang Minahasa, seperti yang pernah ditunjukkan oleh Sam Ratulangi, di mana di samping dia berilmu (doktor fisika dan matematika), berani dalam menegakkan kebenaran dan keadilan (pernah berkelahi dengan opsir Belanda yang memperlakukan tidak manusiawi kepada pegawai kereta api di Yogya), tetapi juga memiliki prinsip humanisme yang tinggi (kasih terhadap sesama) sebagai Tou-Le’os/Sama.

3. Konsep Tou-Sama/Le'os (berbudi pekerti/manusia baik)

Konsep ini, dipandang merupakan hal yang berperan penting dalam membentuk watak orang Minahasa menjadi manusia yang memiliki budi pekerti yang luhur. Di kalangan orang Minahasa, makna Tou-Le’os dimanifestasikan dalam hubungan-hubungan harmonis antar sesama manusia (keluarga, tetangga dan masyarakat luas), seperti ungkapan, ‘niaku niko’okan’, ‘koreiwelina, nikitakan’, ‘sanikoumo, nikeikan’, ‘nikoukan ka nikei’, artinya, ‘aku adalah engkau juga’, ‘kamu adalah kami juga’, ‘kamu bukan siapa-siapa’ atau orang lain’; sikap peka dan prihatin terhadap sesama (‘si kasuai tou’, ‘kearipengkeni’); mewajibkan manusia hidup, harus menghidupi orang lain (si tou-timou tumou tou), merupakan hal yang sangat diperhatikan dalam kehidupan sosialnya.

Identitas ini semakin terkonstruksi sebagai bagian dari budaya orang Minahasa, ketika mendapat terpaan pengaruh pendidikan kolonial Belanda (zending) yang mengajari budi pekerti, dan pengaruh masuknya agama Kristen di tanah Minahasa yang menekankan kepada hukum kasih. Pengaruh ini telah mengubah sikap ‘alifuru’ (budaya ma'edo kokong/potong kepala) menjadi manusia yang baik alias beradab (le’os atau ‘lo’or).

4. Konsep Tou-Kekamet (ramah/rukun)

Konsep ini secara ideal, dalam kehidupan sosial, menekankan supaya harus berada dalam keakrapan dan kerukunan terhadap sesama meskipun berada dalam situasi persaingan. Dapat dikatakan konsep ini cukup/sangat menonjol di kalangan orang Minahasa ketika berhubungan dengan orang lain, misalnya dalam melayani orang lain ketika berkunjung ke daerah ini (Minahasa), yang dikenal ramah, dan selalu menunjukkan keakraban. Konsep ini dapat dijadikan sebagai modal sosial, di mana dengan memiliki mentalitas atau watak sebagai Tou-kekamet (akrap/rukun), memudahkan terciptanya jaringan sosial di dalam lingkungan sosial di manapun dia berada baik secara internal maupun eksternal; regional maupun nasional, lokal maupun global. Nilai ini juga merupakan resep untuk mengubah watak pemimpin yang cenderung bersikap ‘dingin’ dan apatis dalam melakukan pelayanan publik.

5. Konsep Tou-Te’es (manusia disiplin dan rajin)

Konsep ini memperlihatkan bahwa secara ideal manusia dalam kegiatan atau menghadapi suatu pekerjaan harus memiliki etos kerja alias rajin dan disiplin. Sebab memeliki mental Te’es merupakan juga modal sosial yang cukup adaptif dalam membangun (constructing) profesionalisme kepemimpinan. Sebagaimana diketahui bahwa bagi orang Minahasa seorang pemimpin atau pekerja yang ‘malas’ dan tidak ‘disiplin’ dianggap merupakan hal yang tidak disukai. Dalam konteks aktivitas mapalus (mengerjakan kebun secara bersama/kelompok), jika pemimpin mapalus menemukan amggotanya tidak disiplin dan mengabaikan kewajiban mapalusnya (malas), akan mendapat sangsi fisik (cambuk), dan sangsi sosial (dikucilkan).


Oleh : Drs. Albert W. S. Kusen
Pengajar Antropologi FISIP-UNSRAT

SUMBER: IDENTITAS MINAHASA DALAM KONTEKS MENTALITAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar anda di bawah ini